Demul Gugat! Minta Sekolah di Jabar Cuma Sampai Jumat, Sabtu Wajib Libur!

Demul Gugat – Anggota DPRD Jawa Barat, Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa Demul, kembali mengguncang jagat dunia pendidikan dengan pernyataan kontroversialnya. Ia secara terbuka menuntut agar hari belajar di sekolah-sekolah Jawa Barat hanya berlangsung dari Senin hingga Jumat saja. Hari Sabtu? Wajib libur!

Demul menilai bahwa sistem belajar enam hari dalam seminggu sudah tak relevan dengan kondisi sosial dan psikologis peserta didik saat ini. Menurutnya, anak-anak butuh ruang bernapas, bukan dijejali dengan beban akademik yang tak ada habisnya. Ia menuding sistem yang ada justru merenggut waktu tumbuh-kembang anak di luar ruang kelas, terutama dalam konteks keluarga, budaya, dan sosial.

Sabtu: Hak Anak, Bukan Hak Sekolah

“Anak itu bukan robot!” seru Demul dalam salah satu pernyataannya. Ia menyuarakan keresahan banyak orang tua dan siswa yang merasa terkekang dengan jam belajar yang terlalu panjang, apalagi jika ditambah kegiatan tambahan yang kerap diadakan di hari Sabtu.

Demul menyebut bahwa Sabtu seharusnya menjadi hak anak untuk mengenal lingkungannya, belajar dari kehidupan nyata, dan memperkuat hubungan dengan keluarga. Pendidikan slot777 gacor, katanya, tak hanya soal kurikulum dan nilai akademik. Ada pembentukan karakter, budaya lokal, dan nilai-nilai sosial yang hanya bisa tumbuh subur di luar pagar sekolah.

Tanggapan Dingin dari Dinas Pendidikan

Sayangnya, pernyataan ini belum sepenuhnya menggugah Dinas Pendidikan Jawa Barat. Meski beberapa pihak mengakui urgensinya, namun kebijakan resmi belum juga berubah. Padahal, banyak studi menyebutkan bahwa pembelajaran lima hari seminggu tak mengurangi efektivitas akademik, justru meningkatkan fokus, kreativitas, dan kebahagiaan siswa.

Seolah tuli terhadap suara publik, sistem sekolah enam hari tetap berjalan dengan alasan “efisiensi waktu belajar”. Tapi bukankah efisiensi tanpa mempertimbangkan dampak psikologis hanya akan menghasilkan generasi yang lelah secara mental?

Waktu Libur Bukan Pemalasan

Demul juga meluruskan bahwa memberi libur Sabtu bukan berarti mendorong anak-anak untuk bermalas-malasan. Justru di hari itulah mereka bisa mengikuti kegiatan seni, budaya, organisasi, bahkan membantu orang tua di rumah atau berwirausaha kecil-kecilan.

Ia bahkan menantang pemerintah provinsi untuk membuat terobosan yang lebih manusiawi dan berpihak pada masa depan generasi muda. “Kalau sekolah terus, kapan mereka belajar kehidupan?” ujar Demul tegas.

Pernyataan ini membuka wacana besar: apakah sistem pendidikan kita masih relevan dengan zaman? Atau justru kita sedang mencetak anak-anak yang terampil menjawab soal tapi gagap saat menghadapi realitas?

Gubernur Papua Pegunungan Terpaksa Sewa Gedung

Gubernur Papua – Papua Pegunungan, sebuah provinsi baru hasil pemekaran yang dijanjikan akan membawa angin segar bagi masyarakat Papua, kini menghadapi masalah yang cukup memprihatinkan. Gubernur yang baru saja di lantik, bersama jajaran pemerintahan yang telah terbentuk, harus menghadapi kenyataan pahit: mereka belum memiliki gedung kantor sendiri. Akibatnya, untuk sementara waktu, mereka terpaksa menyewa gedung untuk menjalankan aktivitas administrasi pemerintahan.

Masalah Gedung Kantor: Antara Harapan dan Kenyataan

Sudah hampir setahun sejak Papua Pegunungan resmi menjadi provinsi, namun fasilitas dasar yang di perlukan untuk menjalankan roda pemerintahan masih belum terpenuhi situs slot thailand. Hal ini menunjukkan kurangnya persiapan yang matang dari pemerintah pusat maupun daerah dalam merencanakan infrastruktur untuk provinsi yang baru terbentuk ini.

Sewa gedung ini bukan hanya soal masalah anggaran atau keterlambatan pembangunan fisik. Lebih dari itu, ini menunjukkan ketidakseriusan dalam mempersiapkan struktur pemerintahan yang seharusnya menjadi contoh bagi daerah lain. Bagaimana bisa sebuah provinsi yang baru saja berdiri, yang seharusnya mendapat perhatian ekstra, justru kesulitan menyediakan ruang kerja bagi aparaturnya sendiri?

Kenapa Harus Sewa Gedung?

Pemerintah provinsi Papua Pegunungan mengaku bahwa masalah utama yang menyebabkan keterlambatan pembangunan gedung kantor adalah terbatasnya anggaran yang ada. Meski begitu, ini bukan alasan yang bisa di terima begitu saja. Di tengah janji-janji pembangunan yang besar dan menggema, pemerintah harus lebih cermat dalam merencanakan segala hal, termasuk infrastruktur kantor yang menjadi tulang punggung operasional pemerintahan.

Mengandalkan gedung sewaan bukan hanya memperburuk citra pemerintahan baru ini, tetapi juga mengganggu efektivitas dalam menjalankan tugas-tugas administratif. Aktivitas di kantor yang tidak tetap tentu akan mengurangi rasa stabilitas dan profesionalisme yang seharusnya menjadi bagian dari citra pemerintah. Proses birokrasi yang seharusnya berjalan dengan lancar malah bisa terhambat hanya karena masalah ruang kerja yang tidak memadai.

Baca juga: https://almuchtarbekasi.com/

Dampak Jangka Panjang: Ketimpangan yang Terus Berlanjut

Situasi ini bisa berpotensi memperburuk ketimpangan pembangunan di Papua. Gubernur Papua Pegunungan dan pejabat terkait harus berani mengambil langkah tegas, bukan hanya berfokus pada penyewaan gedung untuk sementara waktu, tapi juga menuntut pembangunan gedung permanen yang layak dan representatif.

Tidak hanya masalah gedung yang harus di selesaikan, tapi juga bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah yang terisolasi ini. Jika persoalan infrastruktur kantor saja sudah seperti ini, bagaimana dengan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat Papua Pegunungan secara keseluruhan?

Papua Pegunungan butuh lebih dari sekadar janji. Waktu sudah menunjukkan bahwa janji-janji tersebut harus segera di wujudkan dalam bentuk konkret. Pemerintah pusat dan daerah tidak boleh terus mengandalkan solusi sementara yang hanya mengaburkan masalah utama yang lebih mendalam.

Sistem Pendidikan yang Terus Menghantui Generasi Muda

Sistem Pendidikan – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, pendidikan seharusnya menjadi jembatan untuk membuka pintu-pintu peluang. Namun, kenyataannya tak selalu seindah yang di bayangkan. Pendidikan di Indonesia, dengan segala sistemnya yang usang, seolah menjadi jerat bagi para siswa. Alih-alih memberikan bekal yang mumpuni untuk menghadapi dunia luar, sekolah sering kali hanya mengajarkan teori-teori yang jauh dari kebutuhan nyata. Anak-anak kita di bebani dengan ujian-ujian yang menuntut mereka untuk menghafal, bukan berpikir kritis. Hasilnya? Generasi yang terjebak dalam kebodohan terselubung, penuh angka situs slot dan nilai tetapi minim keterampilan.

Melihat Sistem Pendidikan dari Sudut Pandang yang Berbeda

Apakah Anda pernah berpikir, mengapa banyak orang berpendidikan tinggi namun tidak mampu bertahan hidup di dunia kerja yang kompetitif? Mungkin jawabannya ada pada sistem pendidikan yang kita jalani. Sistem yang terlalu berfokus pada teori dan hafalan tanpa memberikan ruang bagi pengembangan kemampuan praktis dan soft skill yang di butuhkan di dunia profesional. Misalnya, di sekolah, siswa lebih sering https://naturesharvestmeatco.com/ materi pelajaran yang hanya relevan pada ujian akhir, bukan pada kehidupan nyata. Lalu, apa gunanya semua itu jika tak bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah sehari-hari?

Pendidikan yang Terputus dari Realitas

Bagaimana mungkin kita dapat mengharapkan generasi muda kita untuk mampu bersaing di tingkat global, jika mereka tidak di berikan kesempatan untuk mengasah kreativitas dan berpikir kritis? Di banyak sekolah, metode pengajaran yang masih bertahan adalah cara lama yang tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Guru yang mengajar dengan cara konvensional, tanpa inovasi, membuat suasana belajar terasa kaku dan menjemukan. Siswa tidak d iajak untuk menyelami materi secara mendalam, mereka hanya di tuntut untuk cepat lulus tanpa benar-benar memahami apa yang mereka pelajari.

Apa yang Dibutuhkan oleh Pendidikan Kita?

Sistem pendidikan kita memerlukan perubahan besar. Inovasi dalam metode pengajaran, kurikulum yang relevan, dan penggunaan teknologi yang tepat guna harus menjadi prioritas utama. Jika kita ingin anak-anak kita menjadi pemimpin masa depan, kita harus mulai mengajarkan mereka cara berpikir kritis, kreatif, dan berani mengambil keputusan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu membuat siswa merasa terinspirasi untuk belajar, bukan yang membuat mereka merasa terpaksa.

Bayangkan, jika pendidikan mengajarkan para siswa untuk berpikir di luar kotak, berkolaborasi dalam tim, dan menghadapi tantangan dengan solusi-solusi inovatif. Mungkin dunia kerja tidak lagi menjadi tempat yang menakutkan bagi mereka, karena mereka sudah di bekali dengan keterampilan yang tepat. Tapi kenyataannya, pendidikan di Indonesia masih terperangkap dalam lingkaran setan yang tidak berujung, sebuah sistem yang menekankan pada ujian dan angka semata.

Peran Orang Tua dan Masyarakat dalam Mengubah Paradigma Pendidikan

Sistem pendidikan yang baik tentu tidak bisa di bangun oleh pemerintah saja. Orang tua, masyarakat, dan bahkan siswa sendiri, harus terlibat aktif dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik. Orang tua harus mulai memberikan perhatian lebih pada perkembangan karakter anak-anak, bukan hanya mengejar nilai akademis. Sementara itu, masyarakat perlu memberikan dukungan dengan menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pendidikan, seperti memberikan kesempatan magang bagi pelajar untuk memahami dunia kerja secara langsung.

Namun, perubahan tersebut tidak akan datang dengan sendirinya. Di perlukan dorongan dari semua pihak untuk menciptakan sebuah revolusi pendidikan yang mendalam, bukan hanya perubahan permukaan yang menyesuaikan dengan tren terkini. Kita tidak boleh lagi terlena dengan sistem pendidikan yang hanya mengajarkan anak-anak kita untuk menjadi robot yang patuh pada aturan. Pendidikan harus mengajarkan mereka untuk berani berpikir, berinovasi, dan mengambil langkah yang berani menghadapi tantangan zaman.